Akhirnya Ary Ginanjar Akui Kekeliruan ESQ
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.
Di tengah gonjang-ganjing status “keabsanan” ESQ Ary
Ginanjar setelah difatwa sesat oleh Mufti Malaysia, alhamdulillah, di
Bekasi Jawa Barat terjadi dialog dari hati ke hati antara seorang alumnus
training ESQ, Ustadz Farid Achmad Okbah MA dengan pendiri ESQ, Bapak Dr Ary
Ginanjar Agustian. Dialog diadakan pada hari selasa 20 Juli 2010 pukul 18.30 -
20.00 WIB di Meeting Room Radio DAKTA Jl. KH. Agus Salim Bekasi.
Saya adalah salah satu saksi mata pertemuan antara
Bapak Dr. Ary Ginanjar Agustian dengan Ustadz Farid Ahmad Oqbah, MA (Direktur
Islamic Center Al-Islam Bekasi dan narasumber Kajian Aqidah Radio Dakta 107 FM
Bekasi). Pertemuan ini terkait penjelasan atas beberapa koreksi Ustadz Farid
terhadap ESQ yang dimuat di berbagai media, antara lain voa-islam.com (baca: Nasihat Alumnus ESQ untuk
Ary Ginanjar Agustian).
Ustadz Farid Okbah berani mengoreksi beberapa ajaran
ESQ Ary Ginanjar, karena beliau telah mengikuti pelatihan ESQ tahun 2006 silam.
Ust Farid sendiri adalah alumni ESQ ke-46.
Dalam pertemuan itu sangat jelas dan terang Bapak Ary
Ginanjar menerima semua koreksi Ustadz Farid dan berjanji akan memperbaiki
kekeliruan-kekeliruannya. Di samping memang Pak Ary sendiri sangat kooperatif,
terbuka dan jujur menerima semua masukan Ustadz Farid. Perlu dicatat bahwa
hampir semua nasihat dan koreksi Ustadz Farid sama persis dengan Fatwa Ulama
Persekutuan Malasyia yang menyesatkan ajaran ESQ. Dan itu tidak dibantah
sedikit pun oleh Pak Ary. (Adalah urusan Allah yang tahu apakah Pak Ary
menerimanya atau tidak)
Sebelumnya kita tahu betul bahwa Bapak Ary Ginanjar
menolak semua dakwaan bahkan cenderung membenturkan ulama dengan ulama.
Sementara Majelis Fatwa Mudzakarah Malasyia yang mendukung ESQ pun tetap dengan
syarat ESQ memperbetul (memperbaiki) kekeliruan yang sudah terjadi. (Karena
kebenaran tidak bisa dikalahkan dengan banyaknya jumlah yang mayoritas).
Sementara itu, Ust Farid memandang bagaimanapun juga
ESQ adalah aset umat yang sangat berharga yang harus dijaga dan didukung namun
tetap harus dikoreksi jika terdapat kekeliruannya di dalamnya, sebagai
kewajiban saudara muslim terhadap muslim lainnya agar sama-sama selamat dunia
akhirat.
...Ary
Ginanjar dengan besar hati mengakui kekeliruannya. Ia menegaskan bahwa dari
awal ESQ sangat komitmen terhadap Al-Qur'an dan As-Sunnah. Hanya beliau
menyadari ada kekeliruan dalam memahami tafsir dan syarah
keduanya....
Ustadz Farid Okbah juga sangat menyayangkan pembelaan
membuta KH Said Agil Siradj dan Prof Dr Din Syamsuddin terhadap ESQ. Sementara
Bapak Ary Ginanjar sendiri dengan besar hati mengakui kekeliruannya. Pak Ary
menegaskan bahwa dari awal ESQ sangat komitmen terhadap Al-Qur'an dan As-Sunnah
dan akan terus berpegang teguh kepada keduanya. Hanya beliau menyadari ada
kekeliruan dalam memahami tafsir dan syarah keduanya.
Pertemuan di atas berjalan penuh dengan nuansa
kekeluargaan, akrab, hangat dan cair. Salut buat Pak Ary yang bersedia
mendatangi Ulama untuk meminta taushiah, dan mengakui kekeliruannya. Semoga
urusan umat ini semakin melancarkan perjuangan Da'wah ilallah. Perbaiki
Bangkit, maju dan berkibarlah ESQ dengan semangat li’ilai kalimatillah.
Amien.
ESQ BERMASALAH
[E] BEBERAPA KRITIK FUNDAMENTAL
Berikut ini saya kemukakan beberapa catatan kritik terhadap konsep ESQ yang
dirintis Bapak Ary Ginanjar Agustian. Referensi kritik ini berdasarkan isi buku
ESQ New Edition yang diterbitkan oleh Penerbit Arga Jakarta.
Catatan-catatan kritik ini tidak bermaksud untuk
menetapkan konsep ESQ sesat, tetapi mendorong agar konsep itu diperbaiki lagi,
sesuai ajaran Islam.
(1) Klaim “The ESQ Way 165”
Yang dimaksud ESQ Way adalah konsep: “Ihsan, Rukun Iman, dan Rukun Islam.”
Ihsan dihitung 1, Rukun Iman dihitung 6, dan Rukun Islam dihitung 5. Jadi
semuanya digabung menjadi simbol “165”. Konsep “165” ini diulang-ulang dalam
buku ESQ di banyak tempat.
Ary Ginanjar Agustian dan komunitas ESQ harus paham dengan baik, bahwa Rukun
Iman dan Rukun Islam itu merupakan PILAR AJARAN Islam. Kalau berbicara tentang
pilar-pilar ini, harus sangat hati-hati. Tidak boleh sembrono, atau seenaknya
sendiri.
Sekedar penjelasan, kalau seseorang mengalami catat dari sisi Rukun Iman,
imannya bisa gugur, atau setidaknya bisa rusak iman. Begitu juga, kalau
seseorang cacat dari sisi Rukun Islam, keislamannya bisa hancur atau rusak.
Oleh karena itu, para ulama sangat hati-hati kalau bicara tentang Rukun Iman
dan Rukun Islam, sebab keduanya merupakan konsep paling sensitive dalam akidah
Islam.
Kalau membaca buku ESQ karya Ary Ginanjar itu, Bagian II tentang Mental
Building (Membangun Mental), halaman 117-248. Disini dibahas tentang membangun
karakter mental, berdasarkan inspirasi Rukun Iman yang 6. Tetapi kalau Anda
baca bab yang melebihi 100 halaman itu, disana tidak akan ditemukan pembahasan
tentang Rukun Iman. Bahkan istilah “Percaya kepada Allah”, “Percaya kepada
Malaikat”, “Percaya kepada Kitab”, dan seterusnya sebagaimana lazimnya
pembahasan Rukun Iman, tidak ada. Yang ada justru rukun-rukun keyakinan yang
dibuat oleh Ary Ginanjar sendiri.
Lebih menarik lagi, untuk menjelaskan “Rukun Iman” tersebut, Ary Ginanjar
sangat banyak mengutip pandangan pakar-pakar Barat. Lha ini, mau membahas Rukun
Iman, tetapi referensinya pandangan-pandangan orang non Muslim.
Begitu pula, dalam soal Rukun Islam yang dibahas di Bab III, Personal Strength
(Ketangguhan Pribadi), halaman 249-323. Dalam bab ini Ary Ginanjar membatasi
pandangan-pandangan pakar Barat, dan lebih mengkaji konsep-konsep ibadah dalam
Islam. Tetapi sayangnya, Ary Ginanjar membuat tafsiran-tafsiran sendiri atas
ibadah-ibadah seperti Shalat, Zakat, Puasa, Haji itu. Dia membuat tafsiran
independen atas ibadah-ibadah ritual dalam Islam.
Para ulama Islam sudah menjelaskan, bahwa masalah ibadah itu sifatnya
tauqifiyah (tinggal dilaksanakan saja, tidak ada inovasi di dalamnya). Perkara
ibadah sifatnya given (diberikan secara langsung) oleh Syariat. Disini tidak
ada inovasi, baik secara amalan, maupun pemikiran. Tidak boleh kita membuat
inovasi-inovasi dalam masalah ibadah. Dan Ary Ginanjar justru melakukan hal
itu.
Ormas Muhammadiyyah dan Persis, terkenal sangat anti bid’ah. Terutama bid’ah
dalam masalah ibadah dan keyakinan. Penafsiran Ary Ginanjar terhadap Rukun
Islam itu jelas berbeda dengan tradisi pandangan yang dikembangkan oleh kedua
ormas Islam tersebut.
Disini saya menyimpulkan, klaim ESQ terhadap konsep Ihsan, Rukun Iman, dan
Rukun Islam, atau kemudian disimbolisasi dengan icon “165”, hanya sekedar klaim
belaka. Tidak ada kenyataan seperti itu dalam ajaran-ajaran ESQ.
(2) Konsep “Zero Minds Process” (ZMP)
Konsep ini dibahas di buku ESQ, Bagian I. Judulnya, Zero Minds Process,
Penjernihan Emosi, halaman 63-116. Dalam konsep ini diterangkan, sebelum
seseorang mengkaji buku ESQ, dia harus membersihkan pikiran-pikirannya dari 7
belenggu pemikiran, yaitu: Prasangka, Prinsip-prinsip Hidup,
Pengalaman, Kepentingan, Sudut Pandang, Pembanding, dan Literatur. Satu per
satu belenggu pemikiran ini dibahas dalam bab I tersebut.
Dalam boks di halaman 99, Ary Ginanjar menulis, “Periksa pikiran Anda terlebih
dulu, sebelum menilai segala sesuatu, jangan melihat sesuatu karena pikiran
Anda, tetapi lihatlah sesuatu karena apa adanya.” Lalu di boks halaman 103
disebutkan, “Janganlah terbelenggu oleh literature-literatur, berpikirlah
dengan merdeka, jadilah yang berhati ‘ummi’.”
Dalam konsep Zero Minds ini, kita harus membersihkan pikiran dari pemikiran,
persepsi, opini, dan apapun yang lain. Setelah sampai di titik “Zero Minds”,
kita baru siap untuk menerima kebenaran yang dibawa oleh ajaran ESQ. Dalam
pelatihan, digambarkan ada gelas berisi penuh air. Maka sebanyak dituangkan air
ke gelas penuh itu, ia menjadi tidak berguna. Gelas akan memuntahkan airnya,
karena sudah penuh. Maka gelas itu harus kosong terlebih dulu, sebelum menerima
kebenaran (ajaran ESQ). Inilah konsep ZMP, Zero Minds Process.
Kalau seseorang teliti dan kritis, dia akan menolak konsep “Zero Minds” ini.
Ini bukanlah konsep yang Islami, bahkan ia bukan konsep yang manusiawi. Konsep
“mengosongkan pikiran” dari pengaruh pandangan luar, kerap dipakai di dunia
intelijen untuk mencetak agen. Ia juga dipakai di lingkungan negara-negara
Komunis dulu, untuk tujuan indoktrinasi secara paksa. Anda tentu ingat apa yang
disebut metode brain washing (cuci otak). Konsep Zero Minds mirip itu. Bahkan
cara yang sama dipakai para ahli hipnotis untuk menghipnotis manusia. Anda
tentu masih ingat ucapan, “Kosongkan pikiranmu, kosongkan pikiranmu, kosongkan
pikiranmu!”
Dalam berdakwah kepada manusia, kita tidak usah menuntut supaya pikiran mereka
kosong dulu. Biarkan saja mereka memiliki banyak persepsi, pikiran, opini, dan
apapun. Tidak ada satu pun konsep Islam yang mengajarkan metode “kosongkan
pikiran” itu. Malah Islam melarang manusia minum khamr, sebab minum khamr bisa
membuat manusia “hilang akal” untuk sementara.
Nabi Saw saat berbicara di bukit Shafa di hadapan para pemuka Quraisy di
Makkah, lalu menawarkan kalimat “Laa ilaha illa Allah”, beliau tidak menuntut
mereka “mengosongkan pikiran”. Tidak sama sekali. [Coba baca lagi kisah di
balik turunnya Surat Al Lahab atau Al Massad]. Begitupun ketika Mush’ab bin
Umair Ra berdakwah ke Madinah, beliau juga tidak menuntut warga Madinah
“mengosongkan pikiran”. Jadi dakwah itu ditempuh secara normal saja. Kalau mau
terima, silakan; kalau menolak, ya silakan. Agama ini adalah pilihan, bukan
pemaksaan. [Baca Surat Al Kahfi ayat 29].
Ary Ginanjar berdalil, bahwa Rasulullah Saw dulu, sebelum menerima Wahyu,
beliau adalah manusia ‘ummi, yang tidak bisa membaca-menulis. Begitu pula
manusia jaman sekarang, kalau mau menerima kebenaran, harus mengosongkan
pikiran dari aneka macam belenggu pikiran. Disini Ary Ginanjar mendalilkan
konsep Zero Minds Process (ZMP).
Disini ada kekelirun pemikiran yang fatal. Rasulullah Saw itu awalnya tidak
mengenal Islam, lalu Allah memberikan Wahyu kepadanya. Jadi wajar jika beliau
sebelumnya harus bersih dari pengaruh-pengaruh ajaran/ideologi apapun.
Masalahnya, kaum Muslimin yang menjadi segmen pasar konsep ESQ ini, mereka
bukan orang yang tidak beragama. Mereka adalah kalangan Muslim yang sudah
beragama. Mungkinkah orang yang sudah beragama disuruh “mengosongkan pikiran”
dari aneka macam pemikiran, kepentingan, pengalaman, dll.? Ini jelas tidak
benar.
Prinsip “mengosongkan pikiran” boleh saja diterapkan kepada non Muslim, tetapi
tidak boleh untuk kaum Muslimin. Bagaimana kalau mereka meninggal dalam keadaan
sedang “kosong pikiran”? Itu sama saja, mereka meninggal dalam keadaan mabuk
(hilang akal).
Andaikan metode Zero Minds itu boleh diterapkan kepada non Muslim, ia tetap
bukan metode Islami. Islam sama sekali tak pernah mengajarkan cara
“mengosongkon pikiran” dalam berdakwah. Biarkan manusia dengan segala
keadaannya, maka Kitabullah dan Sunnah akan memperbaiki mereka, jika Allah
menghendaki hidayah atas mereka.
Bahkan Ary Ginanjar sebenarnya tidak konsisten dengan konsep ZMP-nya itu.
Buktinya mudah. Dalam konsep ZMP, seseorang tidak boleh dipengaruhi oleh
pengalaman-pengalaman. Pengalaman dianggap sebagai belenggu pikiran. Namun
dalam buku ESQ itu, Ary Ginanjar sendiri sangat banyak memuat catatan-catatan
pengalaman, baik dari dirinya sendiri maupun orang lain. Artinya, Ary Ginanjar
mengakui bahwa dalam pengalaman-pengalaman itu ada sesuatu yang baik yang bisa
dijadikan pelajaran hidup. Maka mengosongkan pikiran dari persepsi awal,
termasuk pengalaman-pengalaman, bukanlah suatu pemikiran yang fair.
(3) Terlalu Berlebihan Mengagungkan “God Spot”
Konsep “God Spot” ini pertama kali dicetuskan oleh ahli syaraf VS Ramachandran
dari California University, pada tahun 1997. Ramachandran menemukan eksistensi
God Spot dalam otak manusia. God Spot itu merupakan struktur yang sudah build
in dalam otak semua manusia. Hal ini disebut dalam buku ESQ halaman 44.
Berulang kali Ary Ginanjar dalam bukunta menyebut istilah God Spot.
Terkait tentang kedudukan God Spot, Ary Ginanjar antara lain menulis, “Ketika
jiwa manusia mengangguk, mengakui Allah sebagai Tuhannya, maka saat itulah
Sifat-sifat Tuhan yang Suci dan Mulia, akan mengemuka dan memancar dalam God
Spot-nya, dan dari sinilah dasar pijakan kecerdasan spiritual bermula.” (ESQ,
halaman 108). Masih pada halaman yang sama, Ary Ginanjar menyebutkan daftar 99
Asmaul Husna yang diberi judul: “99 Sifat Allah yang terefleksikan pada
God Spot (Core Values)”. Di halaman 110 disebutkan, “Inilah 7
spiritual core values (nilai dasar ESQ) yang diambil dari Asmaul Husna yang
harus dijunjung-tinggi sebagai bentuk pengabdian kepada sifat Allah yang
terletak pada pusat orbit (God Spot).” Begitu hebatnya God Spot sampai
Ary Ginanjar menyandarkan Sifat-sifat Allah kepada God Spot itu. Jelas semua
ini berlebihan.
Mungkin saja, hasil penelitian tentang God Spot itu layak dihargai. Tetapi kita
harus hati-hati dan proporsional. Islam sudah muncul di dunia sejak 1400 tahun
lebih, yang lalu. Sedangkan konsep God Spot itu baru dikenalkan tahun 1997
lalu. Apakah kaum Muslimin harus beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, setelah
menunggu ditemukannya Got Spot? Jelas tidak mungkin. Tanpa ditemukan God Spot
pun, kaum Muslimin sudah memiliki dasar-dasar keyakinan yang kuat.
Alhamdulillah.
Sebenarnya, sejak lama sarjana-sarjana Islam juga sudah menjelaskan tentang
tabiat religius pada setiap manusia, meskipun sifatnya bukan hasil penelitian
neurologis (syaraf). Kalangan Hizbut Tahrir, dalam bidang pembinaan kejiwaan,
menyebut manusia memiliki gharizatut tadayyun (instink untuk beragama).
Mereka mendasarkan pendapat itu dari temuan-temuan arkheologis, bahwa
manusia-manusia kuno yang tinggal di gua-gua, mereka memiliki ritual-ritual
tertentu. Padahal mereka tidak mendapat pelajaran atau informasi seperti
masyarakat normal.
Dalam konsep ESQ, God Spot dianggap segala-galanya. Kemegahan God Spot ini
sampai dibuatkan model tersendiri, namanya ESQ Model. Kalau
Anda lihat bagan ESQ Model, God Spot diletakkan di titik pusat (sentral). Lalu
bagan ESQ Model ini dicantumkan berkali-kali di halaman: 59, 60, 64, 118, 121,
138, 153, 176, 202, 218, 241, 250, 258, 273, 301, 326, 331, dan 356. Ini untuk
bentuk ESQ Model yang bersifat lengkap. Adapun ESQ Model yang dipecah-pecah,
masih banyak lagi. Konsep ESQ benar-benar berhutang budi kepada Ramachandran
dan tim dari California University yang menemukan God Spot. Tanpa penemuan
Ramachandran, tidak akan ada ESQ.
Dalam masalah posisi God Spot ini kita menemukan TITIK KEKELIRUAN FATAL dari
konsep ESQ. ESQ begitu berlebihan memposisikan God Spot, hingga menjadikan God
Spot sebagai titik sentral ESQ Model. Konsep seperti ini jelas KELIRU. Pembaca
harus sadar, God Spot itu adalah sebuah struktur syaraf di otak yang
membuktikan bahwa dalam diri manusia ada tabiat religius. Jadi pada hakikatnya,
God Spot itu merupakan SEBUAH yang terletak di susunan syaraf otak. Jadi God
Spot itu sebenarnya tidak memiliki FUNGSI KOMPLEKS seperti yang dibayangkan
oleh Ary Ginanjar Agustian. Pusat kesadaran manusia ialah QALBU atau hati,
terletak di dada. Adapun pusat pemikiran manusia adalah otaknya di kepala.
Andaikan otak isinya hanya God Spot saja, tanpa susunan fungsi-fungsi syaraf
yang lain, maka otak itu tidak akan berfungsi. Jadi, bagan ESQ Model runtuh
disini.
Dan lebih menarik lagi ketika Ary Ginanjar tidak bisa membedakan, mana otak di
kepala (termasuk God Spot di dalamnya) dan maka hati nurani di dada. Pembahasan
otak dan hati ini dalam buku ESQ sangat rancu. Ada kalanya pusat kesadaran
disebut God Spot, ada kalanya disebut hati nurani. Mengapa kerancuan itu
timbul? Sebabnya mudah saja, karena Ary Ginanjar tertawan oleh konsep pemikiran
Barat dan Timur. Menurut pakar psikologi Barat, hati nurani di dada tidak
dianggap. Mereka menganalisis jiwa manusia dengan sarana susunan syaraf di
otak. Sementara menurut pakar kejiwaan Timur, mereka berpijak pada fungsi hati
nurani di dada.
Harus dicatat dengan baik, posisi God Spot itu berada di jaringan syaraf otak.
Artinya, ia berada di kepala. Kepala jelas bukan hati (qalbu). Kepala berbeda
dengan qalbu. Rasulullah Saw menjelaskan, bahwa dalam diri setiap manusia ada
segumpal daging. Jika daging itu baik, baiklah seluruh tubuh; jika daging itu
buruk, maka buruklah seluruh tubuh. Adapun daging itu adalah qalbu. Hal ini
disebut dalam hadits Bukhari-Muslim, dari An Nu’man bin Basyir Ra.
Seharusnya, aspek yang lebih tepat diperhatikan adalah hati (qalbu), bukan Got
Spot di otak. Bahkan menjadi ironi ketika konsep ESQ begitu serius
memperhatikan masalah God Spot, sedangkan sejak awal Saudara Ary Ginanjar sudah
menekankan, bahwa: “EQ lebih penting dari IQ.” EQ terletak di qalbu, sedangkan
IQ terletak di otak. Jadi bagaimana dong?
Kesadaran tentang God Spot tidak otomatis membuat seseorang beriman kepada
Islam. Konsep ini dianggap unggul di hadapan ideologi atheis. Tetapi kemudian
setiap orang merasa bebas memilih agama apa saja, di luar Islam, selama dalam
dirinya masih ada God Spot. Padahal jelas-jelas Allah sudah menegaskan,
“Innad dina ‘indallahil Islam” (agama di sisi Allah itu adalah Islam).
Bagi seseorang yang mendakwahkan Islam, maka dakwahnya akan berhenti sampai
membuat “manusia beragama”, apapun agamanya. Padahal sejatinya dakwah Islam
mengajak manusia masuk Islam, tidak sekedar menjadi manusia beragama. (Bersambung
ke bagian-3)
www.sbc-umroh.com/www.maknajiwa.blogspot.com/info bambang Hermanto hp:08117210180